Pada tahun 2007 lalu, pemerintah melalui Menteri
Pendidikan Nasional telah meluncurkan Permendiknas No. 13 Tahun 2007 tentang
Standar Kepala Sekolah/Madrasah, di dalamnya mengatur tentang persyaratan
kualifikasi dan kompetensi yang seyogyanya dimiliki oleh seorang kepala
sekolah. Kehadiran peraturan ini
tampaknya bisa dipandang sebagai moment penting, serta memuat pesan dan
amanat penting, bahwa sekolah harus dipimpin oleh orang yang
benar-benar kompeten, baik dalam aspek kepribadian, sosial, manajerial,
kewirausahaan, maupun supervisi.
Dalam rangka menata dan mereformasi
kepemimpinan pendidikan di sekolah, sekaligus melengkapi peraturan
sebelumnya-khususnya Permendiknas No. 13 Tahun 2007- yang terkait dengan
kekepalasekolahan (principalship), kini pemerintah melalui
Menteri Pendidikan Nasional menghadirkan kembali regulasi baru yaitu: Permendiknas
No. 28 Tahun 2010 tentang Penugasan Guru Sebagai Kepala Sekolah/Madrasah.
Peraturan ini terdiri dari 10
Bab dan 20 Pasal, dengan sistematika penulisan sebagai berikut:
- Bab I Ketentuan Umum
- Bab II Syarat-Syarat Guru yang Diberi Tugas Tambahan Sebagai Kepala Sekolah/Madrasah
- Bab III Penyiapan Calon Kepala Sekolah/Madrasah
- Bab IV Proses Pengangkatan Kepala Sekolah/Madrasah
- Bab V Masa Tugas
- Bab VI Pengembangan Keprofesian Berkelanjutan
- Bab VII Penilaian Kinerja Kepala Sekolah/Madrasah
- Bab VIII Mutasi dan Pemberhentian Tugas Guru sebagai Kepala Sekolah/Madrasah
- Bab IX Ketentuan Peralihan
- Bab X Ketentuan Penutup
Catatan 1:
Persyaratan
khusus guru yang diberi tugas tambahan sebagai kepala sekolah/madrasah yaitu
memiliki sertifikat kepala sekolah/madrasah pada jenis dan jenjang yang sesuai
dengan pengalamannya sebagai pendidik yang diterbitkan oleh lembaga yang
ditunjuk dan ditetapkan Direktur Jenderal. (Pasal 2 Ayat 3 point b).
Penyiapan
calon kepala sekolah/madrasah meliputi rekrutmen serta pendidikan dan
pelatihan calon kepala sekolah/madrasah. (Pasal 3 Ayat 1)
Pendidikan
dan pelatihan calon kepala sekolah/madrasah dilaksanakan dalam kegiatan tatap
muka dalam kurun waktu minimal 100 (seratus) jam dan praktik pengalaman
lapangan dalam kurun waktu minimal selama 3 (tiga) bulan. (Pasal 7 Ayat 2)
Dalam
pandangan manajemen, sertifikat bisa dianggap sebagai bukti formal atas
kelayakan dan kewenangan seseorang untuk memangku jabatan tertentu.
Belakangan ini (terutama setelah diberlakukannya Otonomi Daerah), kerapkali
ditemukan kasus rekrutmen kepala sekolah tanpa disertai Sertifikat Kepala
Sekolah, dan kegiatan pendidikan dan pelatihan calon kepala sekolah.
Jika
seorang guru direkrut tanpa sertifikat dan diklat alias melalui proses sim
salabim seperti dalam atraksi sulap, barangkali tidak salah jika ada
sebagian orang yang mempertanyakan akan kewenangan dan kelayakan yang
bersangkutan. Dengan adanya ketentuan ini, maka ke depannya diharapkan
tidak terjadi lagi kasus-kasus seperti ini sehingga sekolah benar-benar
dapat dipimpin oleh orang yang layak dan teruji.
Catatan 2:
Calon
kepala sekolah/madrasah direkrut melalui pengusulan oleh kepala
sekolah/madrasah dan/atau pengawas yang bersangkutan kepada dinas
propinsi/kabupaten/kota dan kantor wilayah kementerian agama/kantor kementerian
agama kabupaten/kota sesuai dengan kewenangannya. (Pasal 4 Ayat 2)
Pengangkatan
kepala sekolah/madrasah dilakukan melalui penilaian akseptabilitas oleh tim
pertimbangan pengangkatan kepala sekolah/madrasah. (Pasal 9 Ayat 1). Tim pertimbangan melibatkan
unsur pengawas sekolah/madrasah dan dewan pendidikan. (Pasal 9 Ayat 3)
Penilaian
kinerja kepala sekolah/madrasah dilakukan secara berkala setiap tahun dan
secara kumulatif setiap 4 (empat) tahun. (Pasal 12 Ayat 1). Penilaian kinerja tahunan
dilaksanakan oleh pengawas sekolah/madrasah. (Pasal 12 Ayat 2). Penilaian
kinerja 4 (empat) tahunan dilaksanakan oleh atasan langsung dengan
mempertimbangkan penilaian kinerja oleh tim penilai yang terdiri dari pengawas
sekolah/madrasah, pendidik, tenaga kependidikan, dan komite sekolah dimana yang
bersangkutan bertugas. (Pasal 12 Ayat 3)
Pasal-pasal
di atas adalah pasal yang berkenaan dengan peran pengawas sekolah. Pasal-pasal
tersebut mengisyaratkan bahwa pengawas sekolah perlu dilibatkan dalam proses
rekrutmen dan pengangkatan kepala sekolah. Di beberapa tempat, dalam
urusan rekrutmen dan pengangkatan kepala sekolah, pengawas sekolah kadang
hanya diposisikan sebagai “penonton” belaka. Lebih parah lagi, malah yang
dilibatkan justru orang-orang yang sebenarnya tidak berkepentingan
langsung dengan pendidikan, biasanya hadir dalam bentuk “titipan sponsor”.
Hadirnya
peraturan ini, juga membawa konsekuensi logis akan perlunya kebijakan penilaian
kinerja kepala sekolah di setiap daerah, yang di dalamnya perlu melibatkan
Pengawas Sekolah. Kendati demikian, di beberapa tempat kegiatan penilaian
kinerja kepala sekolah tampaknya belum bisa dikembangkan menjadi
kebijakan resmi Dinas Pendidikan setempat.
Dengan
adanya niat baik pemerintah untuk meilibatkan dan memberdayakan peran pengawas
sekolah sebagaimana tercantum dalam pasal-pasal yang telah disebutkan di
atas, tentu harus diiringi dengan kesiapan dari para pengawas sekolah itu
sendiri.
Untuk
mengimbangi kebijakan baru ini sekaligus mendapatkan kejelasan hukum tentang
pengawas dan kepengawasn sekolah. Secara pribadi, saya berharap kiranya
pemerintah pun dapat segera menerbitkan Peraturan tentang Penugasan Guru
sebagai Pengawas Sekolah, untuk melengkapi peraturan-peraturan
sebelumnya, khususnya yang tertuang dalam Permendiknas No. 12 Tahun 2007
tentang Standar Pengawas Sekolah.
Mari
kita tunggu!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar